Thursday 22 March 2012

WANITAKU

WANITAKU



Adzan shubuh bergema suara kokok ayam bersahut-sahutan menandakan hari sudah pagi meskipun udara terasa dingin karena tadi malam turun hujan dengan sabar Ibu membangunkanku dan memasak air untuk membuat kopi dan mandi.
                “Andi putraku ayo lekas bangun nak”
                “Bentar Buk, masih ngantuk nih”,jawabku.
                “Air hangat sudah siap ayo cepat..”,akupun kaget mendengarnya.
                “Buat apa sih Bu’?kan masih pagi?”tanyaku.
                “Nanti jam 07.00 kamu harus siap di stasiun”
                Sambil menangis,Ibu mengutarakan maksudnya,”Ibu dan Bapak memutuskan supaya kamu sekolah di Solo daripada di Surabaya kamu ikiut-ikutan tawuran, mau jadi apa kamu.” Kata Ibu.
                Dengan berat hati Aku pergi ke Solo karena permintaan Ibu dan Bapak. Di Solo Aku tinggal bersama kakak Ibuku. Sebelum kereta berangkat Aku cium tangan Ibu dan Bapakku kemudian Ibu memberi nasehat, “agar baik-baik di Solo jangan buat ulah disana!”.
                Hari pertama di Solo Aku seperti orang asing,tidak punya kawan tidak tahu jalan-jalan.Dengan sabar kakak Ibuku mengajak jalan-jalan untuk menyusuri Solo. Rasa kesalkupun hilang karena kakak Ibuku mengobati dengan jalan-jalan.
                “bude(sebutan dalam bahasa jawa),ternyata Solo itu enak dan nyaman ya?”
                “O ya, beda sama Surabaya to Ndi, sapa tau kamu dapat jodoh orang Solo. Disini ceweknya cantik-cantik juga baik-baik lho Ndi,” celetuk Bude.
                Akupun tersenyum tersipu sambil mengucap, “Amin Bude.”.
                Disuatu sore saat Aku membeli shampo diwarung deket rumah Budeku,secara tidak sengaja Aku menyenggol barang belanjaan tetanggaku hingga salah satu telurnya pecah, kemudian orang itu menatapku, “Kamu anak baru ya?”. ‘Iya. Saya baru pindah dari Surabaya”. “pantas Aku tidak pernah tahu”. Lega rasanya orang itu tidak marah. Dalam hatiku berkata, “Wah…sudah cantik, putih, penyabar lagi”. Kami pun berkenalan.
                “Saya Andi, mbak namanya siapa?’’
                “Saya Evi, Mas Andi”. Mendengar suaranya yang lembut dan tatapan matanya, wah….tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
                Hampir setiap hari kami bertemu bahkan bersama-sama pada saat jalan menuju kesekolah. Akupun selalu memperhatikan Evi yang tidak membosankan untuk dilihat mata.
                Pagi yang mendung, hujan gerimis tiada hentinya Akupun berangkat sekolah walaupun kehujanan. Sampai di halte, Evi dan dua temannya kebetulan sudah sampai duluan. Kemudian sifat nakalku keluar, entah setan mana yang menempel pada diriku.
                “ Evi…”
                “ya mas… Ada apa?”.
                “Eee…hari ini kan hujan, mendingan nggak usah masuk aja’. Pintaku.
                “Lho…nanti gimana mas?”
                “Ndak papa, paling-paling yang masuk sedikit karena hujan,Oke../”
                “Yaudah, memang Mas Andi mau ngajak kemana?”
                “Terserah, yang penting jalan-jalan aja”.
                Evi dan kedua temannya mengajaku ke suatu tempat yaitu Pengging. Disana kami naik delman, rasanya sangat senang karena Evi dan kedua temannya, sebut saja Yuli dan Novi sangat enak untuk diajak bicara. Dan pada saat pulang Evi duduk disebelahku . kamipun semakin akrab.
                Malam hari Aku tidak dapat memejamkan mataku. Pertemuan yang pertama mengapa begitu singkat. Senang sekali rasanya hatiku. Saat di warung Aku bertemu Evi, Dia tersenyum-senyum meihatku. Kemudian Aku bertanya, “Evi, kemarin yang bayar transport siapa?”.
                “Aku mas”. Dengan terburu-buru Evi meninggalkanku.
                Waduh…..malunya dalam hatiku.
                Selang beberapa miggu Aku mengajak Evi untuk berjalan-jalan, tetapi kali ini tidak bolos.
                Minggu pagi Aku sudah bangun. Motor Aku panasi kemudian Budeku dengan geleng-geleng bertanya, “mau kemana cah bagus?”.
                “Eee…mau rekreasi Bude”, jawabku.
                Sampai didepan rumah Evi perasaan jadi nggak enak, keluar keringat dingin, tetapi tetap semangat. Bismillah….
                Meskipun orang tua Evi terlihat galak, tetapi sabarnya luar biasa.
                “Memangnya mau kemana Mas Andi?”, tanya Bapak Evi.
                “Mau ke tawangmangu Pak”. Jawabku. Kedua matanya menyipit dan menatapku. Dalam hatiku, aduh…gawat nih.
                “Hati-hati ya…jangan lupa bawa jas hujan”, pesan Bapak Evi. Senangnya hatiku karena dapat ijin dari Bapak Evi.
                Akhirnya kami berangkat ke Tawangmangu tepat pukul 09.00 WIB. Untuk pertama kalinya Aku pergi berduaan bersama Evi dalam perjalanan. Kami mengobrol kesana-sini.
                “Evi ke Tawangmangu berapa kali?”
                “Baru tiga kali mas, yang pertama wiasta di sekolah, yang kedua karang taruna kemudian yang terakhir ini dengan Mas Andi”. Jawab Evi.
                “Lha nggak pernah dengan pacar atau teman laki-laki Evi?”
                “Mas laki-laki yang Pertama mau datang ke Rumah Evi baru satu mas,Yaitu mas Andi. Bapak tadi bilang sama Evi baru ada temanmu laki-laki yang sopan dan berani datang, dalam hatiku: waah peluang semakin terbuka lebar nihh. Akhirnya sampai juga hih di tawangmangu menyusuri tangga berdua, rasanya seperti terbang di awan yang putih seputih kulit Evi. Sampai didekat air terjun aku beranikan tanganku menggandenh Evi, (Matanya menatapku bagaikan Elang)
                “Evi, maukah kau menjadi pacarku?
Genggaman tangan evi semakin kuat.
                “Mas menurut mitos disini jika da dua pasangan muda-mudiberjalan melintasi jembatan putus cinta yang ada dibawah sana maka jika dia berjodoh maka akan sampai dipelaminan. Jika tidak maka akan putus ditengah jalan”. Ucap Evi sambil menatapku.
                Kami berdua pun melewati jembatan tersebut sampai di ujung jembatan. Ku kecup kening Evi sambil mengucap “I Love You” Evi pun melontarkan kata yang lembut” I Love You Too mas Andi”
                Dalam perjalanan pulang Evi melingkarkan tangannya di perutku dengan erat. Rasanya……. (Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata).
Sampai dirumah aku langsung berpamitan kepada orang tua Evi. “Bapak,Ibu Andi pulang dulu karena hari sudah sore”. Kedua orang tua Evi tersenyum lebar mendengar pamitanku.
                Ba’da maghrib pada saat makan malam bude bertanya
                “Tadi kamu pergi dengan siapa?”
                “Dengan Eee…..”
                “E sipa? Bude nggak senang kalau Andi tidak terus terang. Jawab!!! (nada suara bude meninggi).
                “Dengan Evi bude….” Jawabku.
                “Evi??.. Kamu pergi dengan Evi?” Tanya bude serasa tidak percaya.
                “Memangnya kekapa bude? Apa ada yang salah?”
                “Kamu memang hebat padahal Evi itu tidak pernah keluar rumah,  pada orang tuanya, baik dan murah senyum jika bertemu tetannga dan juga sabar. Kamu memang pintar cari teman andi”.
                “Bukan teman lagi bude, tapi sudah jadi pacar”.
“Waahh.. bagus kalau begitu nanti aku kabari bapak, ibumu di Surabaya ya?”
“Jangan dulu bude”
“Lha kenapa?”
“Ndak papa bude”
“Ya sudah kalau begitu.. (sambil mengusap-usap kepalaku).
Dan tak terasa hubungan kami sudah berjalan  hampir 3 tahun. Sekolah Evi pun lulus karena ia mengambil D3 dan aku S1.
Ketika aku main kerumah Evi banyak yang curi-curi pandang. Aku pun merasa nggak enak. Kemudian aku putuskan, “Evi maukah kau menikah denganku?
Evi mengenggam tanganku, “Evi siap mas, meskipun mas belum kelar sekolahnya, Evi siap mas”..
Kedua orang tuaku dating dari Surabaya setelah mendengar kabar dariku. Kami sekeluarga bersilaturahmi kerumah Evi, dan mengutarakan maksud pernikahanku.
“Evi apa kamu benar-benar siap?” Tanya bapak ibunya.
Evi siap meskipun mas Andi nanti bersekolah sambil bekerja. Evi siap menerima apa adanya”. Jawab Evi dengan tegas.mendengar jawaban evi suasana yang tegas menjadi pecah. Terlihat wajah-wajah orang tua kami mengeluarkan senyum kebahagiaan.
Memeng menikah di usia muda ada yang beranggapan sudah hamil duluan, tapi itu tidak kami gibris dan tidak menjadi masalah bagi kami.
Setelah menikah kami mencoba hidup mandiri, kami berdua kami tinggal disebuah rumah kontrakan meskipun hanya dikontrakan kami sangat bersyukur karena dapat membangun bahtera rumah tangga kami.
Alhamdulillah meskipun kami berdua belum mapan dalam bekerja, ekonomi kami tidak begitu sulit dan juga tidak merepotkan orang tua kami.
Suatu pagi, Budheku dating kerumah kami sambil membaawakan kue Serabi kesukaanku.
“Andi, Evi dari pada ngontrak lebih baik kalian tinggal dirumah Budhe saja” kata Budhe.
“Gampang Budhe Andi sedang tahap proses membuat momongan dulu, he he he he…. “ kata Andi.
“Ya sudah pokoknya pintu selalu terbuka untuk kalian berdua” kata Budhe.

0 comments:

Post a Comment