Adzan
shubuh bergema suara kokok ayam bersahut-sahutan menandakan hari sudah pagi
meskipun udara terasa dingin karena tadi malam turun hujan dengan sabar Ibu
membangunkanku dan memasak air untuk membuat kopi dan mandi.
“Andi putraku ayo lekas bangun
nak”
“Bentar Buk, masih ngantuk
nih”,jawabku.
“Air hangat sudah siap ayo
cepat..”,akupun kaget mendengarnya.
“Buat apa sih Bu’?kan masih
pagi?”tanyaku.
“Nanti jam 07.00 kamu harus siap
di stasiun”
Sambil menangis,Ibu mengutarakan
maksudnya,”Ibu dan Bapak memutuskan supaya kamu sekolah di Solo daripada di
Surabaya kamu ikiut-ikutan tawuran, mau jadi apa kamu.” Kata Ibu.
Dengan berat hati Aku pergi ke
Solo karena permintaan Ibu dan Bapak. Di Solo Aku tinggal bersama kakak Ibuku.
Sebelum kereta berangkat Aku cium tangan Ibu dan Bapakku kemudian Ibu memberi
nasehat, “agar baik-baik di Solo jangan buat ulah disana!”.
Hari pertama di Solo Aku seperti
orang asing,tidak punya kawan tidak tahu jalan-jalan.Dengan sabar kakak Ibuku
mengajak jalan-jalan untuk menyusuri Solo. Rasa kesalkupun hilang karena kakak
Ibuku mengobati dengan jalan-jalan.
“bude(sebutan dalam bahasa
jawa),ternyata Solo itu enak dan nyaman ya?”
“O ya, beda sama Surabaya to
Ndi, sapa tau kamu dapat jodoh orang Solo. Disini ceweknya cantik-cantik juga
baik-baik lho Ndi,” celetuk Bude.
Akupun tersenyum tersipu sambil
mengucap, “Amin Bude.”.
Disuatu sore saat Aku membeli
shampo diwarung deket rumah Budeku,secara tidak sengaja Aku menyenggol barang
belanjaan tetanggaku hingga salah satu telurnya pecah, kemudian orang itu
menatapku, “Kamu anak baru ya?”. ‘Iya. Saya baru pindah dari Surabaya”. “pantas
Aku tidak pernah tahu”. Lega rasanya orang itu tidak marah. Dalam hatiku
berkata, “Wah…sudah cantik, putih,
penyabar lagi”. Kami pun berkenalan.
“Saya Andi, mbak namanya
siapa?’’
“Saya Evi, Mas Andi”. Mendengar
suaranya yang lembut dan tatapan matanya, wah….tidak bisa diungkapkan dengan
kata-kata.
Hampir setiap hari kami bertemu
bahkan bersama-sama pada saat jalan menuju kesekolah. Akupun selalu
memperhatikan Evi yang tidak membosankan untuk dilihat mata.
Pagi yang mendung, hujan gerimis
tiada hentinya Akupun berangkat sekolah walaupun kehujanan. Sampai di halte,
Evi dan dua temannya kebetulan sudah sampai duluan. Kemudian sifat nakalku
keluar, entah setan mana yang menempel pada diriku.
“ Evi…”
“ya mas… Ada apa?”.
“Eee…hari ini kan hujan,
mendingan nggak usah masuk aja’. Pintaku.
“Lho…nanti gimana mas?”
“Ndak papa, paling-paling yang
masuk sedikit karena hujan,Oke../”
“Yaudah, memang Mas Andi mau
ngajak kemana?”
“Terserah, yang penting
jalan-jalan aja”.
Evi dan kedua temannya mengajaku
ke suatu tempat yaitu Pengging. Disana kami naik delman, rasanya sangat senang
karena Evi dan kedua temannya, sebut saja Yuli dan Novi sangat enak untuk diajak
bicara. Dan pada saat pulang Evi duduk disebelahku . kamipun semakin akrab.
Malam hari Aku tidak dapat
memejamkan mataku. Pertemuan yang pertama mengapa begitu singkat. Senang sekali
rasanya hatiku. Saat di warung Aku bertemu Evi, Dia tersenyum-senyum meihatku.
Kemudian Aku bertanya, “Evi, kemarin yang bayar transport siapa?”.
“Aku mas”. Dengan terburu-buru
Evi meninggalkanku.
Waduh…..malunya dalam hatiku.
Selang beberapa miggu Aku
mengajak Evi untuk berjalan-jalan, tetapi kali ini tidak bolos.
Minggu pagi Aku sudah bangun.
Motor Aku panasi kemudian Budeku dengan geleng-geleng bertanya, “mau kemana cah
bagus?”.
“Eee…mau rekreasi Bude”,
jawabku.
Sampai didepan rumah Evi
perasaan jadi nggak enak, keluar keringat dingin, tetapi tetap semangat. Bismillah….
Meskipun orang tua Evi terlihat
galak, tetapi sabarnya luar biasa.
“Memangnya mau kemana Mas
Andi?”, tanya Bapak Evi.
“Mau ke tawangmangu Pak”.
Jawabku. Kedua matanya menyipit dan menatapku. Dalam hatiku, aduh…gawat nih.
“Hati-hati ya…jangan lupa bawa
jas hujan”, pesan Bapak Evi. Senangnya hatiku karena dapat ijin dari Bapak Evi.
Akhirnya kami berangkat ke
Tawangmangu tepat pukul 09.00 WIB. Untuk pertama kalinya Aku pergi berduaan
bersama Evi dalam perjalanan. Kami mengobrol kesana-sini.
“Evi ke Tawangmangu berapa
kali?”
“Baru tiga kali mas, yang
pertama wiasta di sekolah, yang kedua karang taruna kemudian yang terakhir ini
dengan Mas Andi”. Jawab Evi.
“Lha nggak pernah dengan pacar
atau teman laki-laki Evi?”
“Mas laki-laki yang Pertama mau
datang ke Rumah Evi baru satu mas,Yaitu mas Andi. Bapak tadi bilang sama Evi
baru ada temanmu laki-laki yang sopan dan berani datang, dalam hatiku: waah peluang semakin terbuka lebar nihh. Akhirnya
sampai juga hih di tawangmangu menyusuri tangga berdua, rasanya seperti terbang
di awan yang putih seputih kulit Evi. Sampai didekat air terjun aku beranikan
tanganku menggandenh Evi, (Matanya menatapku bagaikan Elang)
“Evi, maukah kau menjadi
pacarku?
Genggaman
tangan evi semakin kuat.
“Mas menurut mitos disini jika
da dua pasangan muda-mudiberjalan melintasi jembatan putus cinta yang ada
dibawah sana maka jika dia berjodoh maka akan sampai dipelaminan. Jika tidak
maka akan putus ditengah jalan”. Ucap Evi sambil menatapku.
Kami berdua pun melewati
jembatan tersebut sampai di ujung jembatan. Ku kecup kening Evi sambil mengucap
“I Love You” Evi pun melontarkan kata
yang lembut” I Love You Too mas Andi”
Dalam perjalanan pulang Evi
melingkarkan tangannya di perutku dengan erat. Rasanya……. (Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata).
Sampai
dirumah aku langsung berpamitan kepada orang tua Evi. “Bapak,Ibu Andi pulang
dulu karena hari sudah sore”. Kedua orang tua Evi tersenyum lebar mendengar
pamitanku.
Ba’da maghrib pada saat makan
malam bude bertanya
“Tadi kamu pergi dengan siapa?”
“Dengan Eee…..”
“E sipa? Bude nggak senang kalau
Andi tidak terus terang. Jawab!!! (nada suara bude meninggi).
“Dengan Evi bude….” Jawabku.
“Evi??.. Kamu pergi dengan Evi?”
Tanya bude serasa tidak percaya.
“Memangnya kekapa bude? Apa ada
yang salah?”
“Kamu memang hebat padahal Evi
itu tidak pernah keluar rumah, pada
orang tuanya, baik dan murah senyum jika bertemu tetannga dan juga sabar. Kamu
memang pintar cari teman andi”.
“Bukan teman lagi bude, tapi
sudah jadi pacar”.
“Waahh..
bagus kalau begitu nanti aku kabari bapak, ibumu di Surabaya ya?”
“Jangan
dulu bude”
“Lha
kenapa?”
“Ndak
papa bude”
“Ya
sudah kalau begitu.. (sambil mengusap-usap kepalaku).
Dan
tak terasa hubungan kami sudah berjalan
hampir 3 tahun. Sekolah Evi pun lulus karena ia mengambil D3 dan aku S1.
Ketika
aku main kerumah Evi banyak yang curi-curi pandang. Aku pun merasa nggak enak.
Kemudian aku putuskan, “Evi maukah kau
menikah denganku? “
Evi
mengenggam tanganku, “Evi siap mas, meskipun mas belum kelar sekolahnya, Evi
siap mas”..
Kedua
orang tuaku dating dari Surabaya setelah mendengar kabar dariku. Kami
sekeluarga bersilaturahmi kerumah Evi, dan mengutarakan maksud pernikahanku.
“Evi
apa kamu benar-benar siap?” Tanya bapak ibunya.
Evi
siap meskipun mas Andi nanti bersekolah sambil bekerja. Evi siap menerima apa
adanya”. Jawab Evi dengan tegas.mendengar jawaban evi suasana yang tegas
menjadi pecah. Terlihat wajah-wajah orang tua kami mengeluarkan senyum
kebahagiaan.
Memeng
menikah di usia muda ada yang beranggapan sudah hamil duluan, tapi itu tidak
kami gibris dan tidak menjadi masalah bagi kami.
Setelah
menikah kami mencoba hidup mandiri, kami berdua kami tinggal disebuah rumah
kontrakan meskipun hanya dikontrakan kami sangat bersyukur karena dapat
membangun bahtera rumah tangga kami.
Alhamdulillah
meskipun kami berdua belum mapan dalam bekerja, ekonomi kami tidak begitu sulit
dan juga tidak merepotkan orang tua kami.
Suatu
pagi, Budheku dating kerumah kami sambil membaawakan kue Serabi kesukaanku.
“Andi,
Evi dari pada ngontrak lebih baik kalian tinggal dirumah Budhe saja” kata
Budhe.
“Gampang
Budhe Andi sedang tahap proses membuat momongan dulu, he he he he…. “ kata
Andi.
“Ya
sudah pokoknya pintu selalu terbuka untuk kalian berdua” kata Budhe.
0 comments:
Post a Comment